Sabtu, 03 Januari 2009

Menengok Tanah Impian

“Huek, huek… huuk!” Akhirnya muntah juga. Perutku seperti diaduk-aduk. Bau busuk rasanya tak hilang-hilang dari hidungku.

“Masya Allah, telurnya busuk. Nggak jadi deh orak-arik kangkungnya!” Aku bergumam kesal. Segera aku mengangkat wajan dan membawanya keluar. Mantan orak-arik kangkungku kubuang perlahan di tempat sampah. “Tapi ganti sayur apa?” tanyaku dalam hati. Tak lama aku mendapat ide.

“Bu Is, minta kangkungnya, ya,” kataku pada tetangga paling dekat rumah.
“Ambil sajalah, Mbak.” Bu Is, tetangga baruku, menjawab dari dalam rumahnya.
Aku segera mengambil pisau dan wadah. Dengan gesit kupetik batang-batang kangkung di kebun belakang rumah Bu Is. Alhamdulillah, tidak perlu ke pasar untuk beli sayuran lagi. Satu genggam cukuplah untuk.....



makan berdua. Aku cepat-cepat mencuci dan memasaknya.

“Abi, tahu nggak?”
“Apanya?” tanya suamiku sambil menyendok nasinya lambat-lambat. Begitulah dia, makannya lambat. Bahkan lebih lambat dariku. Padahal, aku ini kalau makan dari dulu sudah paling lambat dibanding teman-teman kosku.
“Ummi tadi masak sayurnya sampai dua ronde, lho! Gara-gara telurnya busuk. Telur yang dijual di sini banyak yang busuk ya, Bi?”

“Ya, memang begitu,” jawabnya ringan.
“Kalau di Jawa nggak ada yang sengaja jualan telur busuk. Tapi kata Bu Is, di sini lain.” Suaraku menggantung.
“Ummi jangan samakan Jawa dengan Timika sini. Kita harus pandai-pandai menyesuaikan diri.” Pesan sponsor suamiku itu selalu kudengar kalau aku sudah cerita, tepatnya membandingkan, Jawa dengan Papua.

Kesan pertama tinggal di sini memang tak menggoda. Sampah-sampah menumpuk di pinggir-pinggir jalan. Belum lagi ludah merah, bekas orang mengunyah buah pinang dan kapur sirih, ada di mana-mana, tak sedap dipandang. Dan pasarnya…. luar biasa beceknya.

Pengalaman belanja di pasar sempat pula membuatku takut belanja. “Kalau tak punya uang, tak usah beli!” teriak seorang pedagang saat aku berusaha menawar sebuah labu kuning kecil. Enam ribu, yang benar saja. Aku memilih pergi, tidak jadi membeli. Dengan uang belanja yang pas-pasan, aku harus berpikir keras untuk mendapatkan sayur dan lauk yang tepat. Di sini semua dijual dengan pembulatan sampai seribu. Tak ada recehan. Seperti supermarket tradisional saja, keterampilan menawar barangpun tidak terpakai di sini.

“Saya saat awal-awal tinggal di sini, sempat stres, Mbak. Harga-harga barang sangat mahal. Jadi harus pinter mengaturnya!” cerita seorang tetanggaku
“Iya, uang lima ratus nggak laku. Pernah saya kumpulkan sampai satu kantong dan saya bawa pulang ke Jawa. Sampai digeledah petugas bandara karena dikira bawa emas,” cerita Bu Is yang suaminya pegawai di sebuah perusahaan asing penambang emas di Papua. Tapi, kebanyakan orang Indonesia tak tahu kalau Papua ada emasnya. Tahunya tambang timah. Kasihan betul negeriku ini…

Aku memang baru beberapa hari tiba di Timika Tengah, di kota kecil yang padat. Suamiku sudah lebih lama tinggal di sini. Ia merantau dan berdagang di sini sejak lima tahun yang lalu.

Sejak hari pertama, aku sadar untuk belajar banyak melapangkan dadaku. Bayangkan saja, saat melihat-lihat kota untuk pertama kalinya, ada pengendara sepeda motor yang meluncur tepat berhadapan dengan kami dari arah yang berlawanan, padahal kami berada di lajur kiri. Untung saja suamiku mengendarai sepeda motornya dengan pelan, sehingga tabrakan bisa dihindarkan.

“Ya, di sini kita harus banyak mengalah. Bahkan, kalau sampai ada anjing yang tertabrak, kita langsung kena denda!” Begitu suamiku menerangkan “peraturan” di jalan. Karenanya, ia tak pernah berani ngebut. Di sini aku memang melihat orang-orang begitu menyayangi anjingnya.

Papua. Tanah impianku ini memang tak seeksotik yang kubayangkan. Bayangan tumpukan sampah dan rumput liar yang mengisi tanah-tanah kosong, jelas bukan gambaran yang eksotik. Dulu, sebelum menikah, aku punya obsesi untuk tinggal di pulau ini. Sebuah kesadaran akan perluasan dakwah menumbuhkan semangat itu. Aku begitu bersemangat mendengar ceramah seorang ustadz tentang dakwah di Indonesia Timur. Aku lantas merasa terpanggil.
Tidak terbayangkan bahwa Allah memberiku peluang itu. Sebuah tawaran untuk menikah dari seorang ikhwan di Papua aku terima beberapa bulan lalu. Saat itu hatiku begitu takjub. Allah hampir memenuhi obsesiku. Dengan cara inikah aku sampai ke Papua, ya Allah? Akhirnya dengan dukungan teman-teman dan orangtua, aku menerima lamaran itu. Dengan proses cepat, aku menikah secara sederhana. Dan Papua telah menungguku.

“Huek, huek!” Insiden telur busuk itu seolah tak bisa kulenyapkan dari pikiranku. Aku jadi mudah mual dan muntah-muntah. Bahkan, aku jadi sulit makan beberapa hari ini. Perutkupun terasa sakit sekali. Rasanya aku belum pernah merasakan sakit perut lebih dari ini. Keringat dingin mulai menetes di keningku. Badanku panas dingin.

Aku meninggalkan piring-piring yang belum kucuci. Segera aku masuk kamar, lalu mengoleskan minyak tawon di beberapa bagian tubuhku. Sambil menahan sakit, aku hanya tiduran sambil menunggu suamiku pulang.
“Makanya, kalau disuruh makan itu nurut. Begini akibatnya, malaria. Di sini tidak baik membiarkan perut kosong. Rawan penyakit!” Ceramah suamiku saat mengendarai motor pulang dari klinik. “Masih untung malaria tertiana, kalau tropicana bisa-bisa bahaya. Ada teman yang kena syaraf sampai jadi gila, lho!”

“Abi jangan bikin takut gitu, ah.” Aku menyodok pinggangnya.
“Eh, bener, di sini banyak yang begitu. Sudahlah, pokoknya besok Ummi harus banyak makan. Abi tidak mau melihat Ummi sakit!”
“Tapi Ummi nggak bisa! Bau telur busuk itu masih teringat terus. Atau, Ummi nggak masak dulu? Ganti Abi yang masak, ya?” He-he-he, akhirnya keluar juga manjaku.

Begitulah, dalam beberapa hari suamiku mengerjakan tugas domestik. Badanku masih lemah. Obat malaria yang sangat pahit itu juga mengurangi nafsu makanku. Cuma roti dan susu yang bisa selamat kucerna. Makanan lain masih termuntahkan.

Konon, wabah malaria adalah sapaan hangat bagi pendatang di pulau ini. Pokoknya bukan orang Papua kalau belum kenalan dengan malaria. Makan kina seperti makan permen saja bagi orang Papua. Padahal, rasanya pahit sekali.
Setelah pulih, aku sangat ingin jalan-jalan.

“Sudah kuat? Nanti sakit lagi,” ujar suamiku.
“Buat refreshing lah, Bi.”
“Risiko nggak ditanggung, lho!”
“Ya, pokoknya keluar. Ke mana saja deh. Cari matoa juga boleh,” pintaku penuh semangat.

Beberapa kali aku sempat melihat orang menjual matoa di pasar. Sekarang lagi musim matoa, buah asli Papua. Bentuknya lonjong, sedikit lebih besar dari telur puyuh, dan rasanya mirip kelengkeng. Harganya relatif murah dibanding buah lainnya.

“Apa kerja mereka, Bi?” tanyaku saat melihat beberapa penduduk asli yang asyik mengobrol di pinggir jalan yang kami lewati.

“Nggak tahu, ya. Masih banyak yang berladang dan hanya mengambil hasil hutan. Tapi, ada yang kerja di proyek bangunan.”

“Iya, kelihatannya mereka kuat-kuat. Yang perempuan juga. Ummi pernah lihat perempuan yang bekerja di proyek dekat apotek itu.”

“Abi, apa mereka baik pada kita?” Hatiku ragu. Aku melihat sorot mata tidak bersahabat saat kami melintasi mereka.

“Ya, sulit dikatakan. Mereka itu keras dan suka berkelahi. Kalau sedang marah, apalagi dengan pendatang, mereka tidak peduli orang mana, asal bukan dari kalangan mereka, ya jadi sasaran. Bagi mereka pendatang, ya pendatang.”

“Bahaya kalau gitu.”
“Makanya, tidak aman pergi sendirian, apalagi perempuan.”
Tak lama kulihat botol-botol minuman keras berceceran di jalan. Mabuk-mabukan agaknya sudah jadi kebiasaan di sini. Di pasar, aku juga sering melihat orang mabuk.

Suamiku juga menjelaskan praktek pelacuran yang sudah lazim di sini. “Di dekat jalan tadi itu banyak rumah-rumah buat ‘begituan’,” tambah suamiku. Ah, pantas saja Papua punya angka penderita AIDS yang begitu tinggi.

“Ke mana nih? Sudah sore,” tegur suamiku.
“Ke dekat bandara saja. Pasti enak jalan-jalan sore begini.”
Suamiku mengarahkan sepeda motornya keluar dari jalan raya, menyusuri jalan pinggir kota menuju bandara. Ada sebuah sungai yang cukup besar mengalir di tepinya. Airnya cukup jernih tapi gelap, sepertinya berlumpur dan banyak ganggangnya. Aku jadi ingat ikan air tawar yang aku beli di pasar kemarin. Kotor dan berlumut sehingga aku harus bekerja keras membersihkan sisiknya.
“Kok dingin, ya? Rasanya aneh, bikin tidak enak badan.”

“Makanya, sebenarnya Abi tak ingin mengajak Ummi ke luar. Cuaca di sini beda. Maunya jalan-jalan, eh malah dapat penyakit nanti. Tapi, biar Ummi merasakan sendiri, daripada ngambek,” kata suamiku datar.

Suara serangga hutan yang berisik membuatku merasa tidak nyaman. Nyamuk-nyamuk hutan terasa berseliweran di sekitarku. Pohon-pohon besar dan rimbun membuat suasana gelap. Aku jadi ingin segera pulang. Tanpa banyak berdebat, suamiku menuruti keinginanku.

Kini aku tercenung, Terpikir kembali obsesiku untuk berdakwah di sini. Namun sekarang aku dihadapkan pada kondisi sesungguhnya. Orang-orang berperangai keras. Para pendatang yang matrealistis dengan tingkat moral yang memprihatinkan. Daerah transmigrasi yang kurang diminati karena kondisi jalan yang demikian buruk. Lingkungan yang rawan penyakit.

Lalu, bagaimana caraku berdakwah?
Hatiku jengah. Aku teringat buku-bukuku yang tersusun rapi di rak. Bayangan materi dakwah yang kupelajari tiba-tiba hadir. Aku menarik napas perlahan. Bergunakah semua itu di sini? Dengan apa kuketuk hati mereka untuk dekat pada Allah? Hatiku sibuk berdialog.

Setelah sampai di rumah, aku lebih banyak diam. Berpikir. Hingga jauh malam aku sulit tidur. Sementara suara gitar dan nyanyian parau berbahasa aneh membuatku terasa berada di negeri asing.

“Apakah di tempat seperti ini, akan lahir anak-anakku nanti? Akan tumbuh seperti apa mereka?” Aku mencoba mengais harap. Aku teringat saat suatu siang kulihat kaki-kaki kecil berjalan tanpa sepatu dan bangunan sekolah yang tidak terawat. Wajah pendidikan yang meresahkan hati. Ada banyak yang mesti disiapkan. Dan aku mesti ambil bagian.


Sumber: http://www.ummigroup.co.id/?pilih=lihat&id=685


Read More…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar